Resensi Buku: London - Angel

Penulis             : Windry Ramadhina
Penerbit           : Gagas Media
Tahun Terbit    : 2013
Halaman          : 327


Gilang jauh-jauh datang ke London bukan untuk berlibur. Laki-laki itu datang untuk menjemput cintanya, Ning, yang telah ia cintai selama delapan tahun, atau bahkan lebih. Gilang dan Ning, sejak dulu bersahabat, berdua tak terpisahkan. Selesai kuliah, Ning melanjutkan studinya di London, lalu mengejar mimpinya bekerja di galeri seni Tate Modern.

Sejak Ning pergi, Gilang baru menyadari arti gadis itu bukan hanya sebagai sahabat. Gilang menginginkan Ning menjadi miliknya. Namun, mungkinkah Ning mencintainya juga? Berkat dorongan kelima sahabatnya, Gilang akhirnya memutuskan untuk mengejar Ning hingga ke London. Memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Ning, dan mengajak gadis itu pulang ke Jakarta.

Tapi kenyataan tidaklah seindah yang Gilang bayangkan. Sesampainya di London, tempat tinggal Ning kosong. Sepertinya dia sedang melakukan perjalanan kerja selama beberapa hari. Padahal Gilang hanya punya waktu lima hari di kota itu.

Selain persoalannya dengan Ning, Gilang bertemu dengan gadis cantik bermata biru yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat hujan turun. Dia datang saat hujan, dan menghilang ketika hujan berhenti. Anehnya, kemunculan gadis itu, dan payung merah yang ditinggalkannya, membawa Gilang pada keajaiban-keajaiban cinta. Mungkinkah ia malaikat yang turun ketika hujan?

Gilang tidak tahu, yang ia tahu, ia harus bertemu Ning dan mengungkapkan perasaannya.

Satu lagi novel Windry Ramadhina yang aku baca setelah Montase.

Hmm… di awal membaca London, mengingatkanku pada kisah Nata dan Niki milik Winna Effendi. Sepasang sahabat yang akrab sejak kecil, rumahnya bersebelahan sehingga bisa saling melihat dari jendela kamar masing-masing, lalu ketika dewasa, baru sadar jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, dan jauh-jauh pergi ke luar negeri untuk menjemput cintanya itu.

Tapi hanya awalnya saja yang mirip. Selanjutnya jauh berbeda. Ditambah lagi, kisah ini lebih banyak mengambil latar di London, seperti judulnya. Sehingga nuansa yang diberikan pun berbeda.

Aku suka dengan cara Mbak Windry menggambarkan London di novel ini. Terasa ‘nyeni’ dan ‘London banget’ (sok tahu, padahal belum pernah ke London). Ya, seenggaknya, apa yang kubayangkan selama ini tentang London, seolah diamini oleh Mbaknya dalam cerita yang dia tulis. Kuno, artsy, gloomy, tapi penuh cinta, hehehe.

Aku juga suka dengan cara Gilang memberi julukan pada orang yang ditemuinya dengan nama-nama tokoh di dunia sastra. Jules, Finnegan, Goldilocks, Hyde, Brutus, dan lain-lain. Walaupun aku sendiri nggak terlalu simpatik sama tokoh Gilang. Nggak tahu kenapa. Iya sih kita senasib, suka bertahun-tahun sama seseorang, tapi dipendam aja, eh orangnya malah pergi jauh (lho kok curhat??), tapi aku ngerasa kayaknya Gilang terlalu ‘liar’ deh, hahaha. (Susah mendefinisikannya gimana).

Oya, aku juga suka banget sama kutipan Soneta 17 karya Pablo Neruda. Aku selalu suka dengan novel yang memberiku asupan wawasan tentang sastra dan seni. Mungkin karena itulah, aku menyukai tulisan-tulisannya Prisca Primasari dan Windry Ramadhina. Karena mereka tidak hanya menyajikan alur cerita, tapi tambahan ilmu baru bagi para pembacanya.


Terakhir, sepertinya Mbak Windry ini menganut keyakinan yang sama denganku. Sama-sama percaya, ketika hujan, para malaikat turun. Dan sebagai salah satu yang mencintai hujan (dan London) aku ikut merasa buku ini dipersembahkan untukku. Terima kasih Mbak Windry ^^


Daaaaan, Terima kasihku yang tak terhingga untuk Aziyah Hazrina dan Khadijah Mardhiyah yang memberikan buku ini sebagai hadiah wisuda. Love you so much, girls! XOXO

[Review ini diikutsertakan dalam Lucky No. 14 Reading Challenge kategori Visit the Country dan Young Adult Reading Challenge]

Komentar